REALISME
Mempengaruhi
Perkembangan Teater Indonesia
Realisme adalah
aliran seni yang berusaha untuk mencapai bayangan atas penggambaran kenyataan.
Realisme berkembang sejak 1850-an di Prancis. Aliran ini membuat suatu
pementasan penuh dengan gambaran kehidupan sehari-hari yang telah diobservasi
secara detail.
Dalam
perkembangan dunia teater, realisme muncul setelah aliran romantik mulai pudar.
Pudarnya aliran romantik disebabkan oleh idealisme manusia yang tidak pernah
menjadi kenyataan setelah masa itu. Lalu dipengaruhi pula oleh dua pikiran yang
menimbulkan dampak besar. Positivisme dari Auguste Comte dan Teori Evolusi dari
Charles Darwin. Di zaman modern sekarang
ini banyak (di Indonesia khususnya) kita menyaksikan pementasan - pementasan teater realisme.
Banyak seniman dan para sastrawan yang memberikan uraian panjang maupun singkat
terhadap aliran realisme ini. Tetapi ada juga yang mengkritik tentang realisme
terutama dalam perkembangannya di Indonesia.
Indonesia mengenal teater realis setelah masa perang
berakhir bahkan mulai dipelajari secara baik setelah berdiri perguruan tinggi
teater seperti ATNI [Akademi Teater Nasional Indonesia], Asdrafi [Akademi Seni
Drama dan Film], dan perguruan tinggi yang lain. Kemudian beberapa kelompok
teater ada yang sangat serius mendalami teater realis, seperti teater Populer
nya Teguh Karya. Realisme di Indonesia harus dibaca sebagai gelombang
infiltrasi, adopsi, dan proses translasi, dari sumber awalnya, yakni teater
realisme Eropa. Teater etnik pra-Indonesia tidak memiliki tradisi teater realis
sebab seluruh tradisi teater etnik tumbuh dalam tradisi representasi, yakni
tontonan sebagai bentuk stilasi tematik dan estetik. Realisme Eropa, yang dasar
epistemologinya adalah modernisme, teradopsi dalam struktur baru kebudayaan
Indonesia, karena konsep Indonesia itu sendiri lahir dari ranah modernisme
Eropa. Tetapi berbeda dengan Max Arifin, seorang
penggiat teater menuliskan dalam uraian singkatnya bahwa generasi baru teater Indonesia
sedang kehilangan referensi. Dia sering menyebut teater sebagai study. Sebab
itu ia menduga, dengan kembalinya teater gaya realis, ada usaha untuk
mengembalikan pada tradisi berpikir. Dalam buku Jagad
Teater [Bakdi Sumanto : 2001],
diterangkan semangat realisme yang sebenarnya adalah untuk merangsang seniman
agar kritis terhadap diri sendiri. Sayangnya, sikap kritis untuk mengembangkan
teaternya sendiri tidak diberi banyak kesempatan untuk tumbuh.
Stanislavski
menekankan salah satu aspek penting dalam teater realisme adalah persiapan seorang
aktor menjadi intelektual, punya bobot emosional yang terjaga baik, bukan cuma
pemain. Stanislavski menekankan dialog dengan penafsiran secara liris kata demi
kata, kalimat demi kalimat, sampai si aktor dapat merasakan kata dan kalimat
itu. Intonasi dialog,
diksi yang bernyanyi, gestur dan mimik, dan berbagai prasyarat pelik, membuat
Stanislavski tak mati-mati di negeri ini. Padahal masih diragukan apakah dalam
mempelajari karya-karya Stanislavski calon aktor betah digembleng secara tahap
demi tahap dengan merasakan secara praktik pikiran-pikiran seni peragaan sastra
Stanislavski.
Realisme sangat mempesona karena berbeda sekali dengan gaya
Presentasional. Para penonton tidak jarang ikut hanyut dalam laku cerita
sehingga mereka merasakan bahwa apa yang terjadi di atas pentas adalah kejadian
sesungguhnya. Lalu bagaimana ciri-ciri realisme itu sehingga bisa begitu
mempesona? Yang digambarkan dalam lakon - lakon realis bukanlah
pahlawan-pahlawan dan bajingan - bajingan yang eksotik, tetapi masalah-masalah
biasa.
Bukan mimpi - mimpi dan fantasi - fantasi, tetapi observasi kehidupan yang aktual. Didasarkan pada observasi yang hati - hati terhadap orang-orang biasa dan tempat-tempat yang riil. Contohnya, naskah berjudul Pinangan karya Anton Chekov sangat mengulas masalah yang biasa bahkan tidak penting disetiap dialog antar tokohnya. Dalam naskah Pinangan itu Chekov menggambarkan kegundahan hati seorang pria yang ingin meminang wanita pujaan hatinya tetapi sulit untuk mengungkapkannya. Sehingga pria itu memancing emosi wanita dengan membahas masalah tanah lapang. Tidak hanya itu bahkan seekor anjing pun bisa menjadi pokok permasalahan dalam naskah ini. Sungguh masalah yang biasa. Chekov lebih menekankan situasi riil yang harus terbangun dari setiap dialognya.
Bukan mimpi - mimpi dan fantasi - fantasi, tetapi observasi kehidupan yang aktual. Didasarkan pada observasi yang hati - hati terhadap orang-orang biasa dan tempat-tempat yang riil. Contohnya, naskah berjudul Pinangan karya Anton Chekov sangat mengulas masalah yang biasa bahkan tidak penting disetiap dialog antar tokohnya. Dalam naskah Pinangan itu Chekov menggambarkan kegundahan hati seorang pria yang ingin meminang wanita pujaan hatinya tetapi sulit untuk mengungkapkannya. Sehingga pria itu memancing emosi wanita dengan membahas masalah tanah lapang. Tidak hanya itu bahkan seekor anjing pun bisa menjadi pokok permasalahan dalam naskah ini. Sungguh masalah yang biasa. Chekov lebih menekankan situasi riil yang harus terbangun dari setiap dialognya.
Ciri - ciri panggung realis dibagi atas wilayah - wilayah
yang mempunyai nilai sendiri - sendiri di setiap wilayahnya. Seperti pentas
dibagi ke dalam sembilan wilayah. Dengan pembagian wilayah ini diharapkan para
aktor akan segera menganalisis arena permainan mereka.
Aktor juga harus saling bermain di
antara mereka, beranggapan seolah-olah penonton tidak ada sehingga mereka
benar-benar memainkan sebuah cerita seolah-olah sebuah kenyataan.
Menciptakan dinding keempat (the
fourth wall) sebagai pembatas imajiner antara penonton dan pemain. Dan yang
paling penting adalah menggunakan bahasa sehari-hari.
Ada yang menganggap, teater realis bisa menjadi ‘alat’
pembunuhan teater. Jika realisme dituntut untuk membuat seniman lebih kritis
dan kreatif seharusnya kita butuh wacana teater realis yang Indonesia. Bukan
adopsi dari barat. Naskah – naskah yang ada sekarang ini lebih banyak hanya
adopsi dari naskah – naskah para penulis barat seperti Henrik Ibsen, Anton
Chekov, Alexander Dumas.
Mengapa dikatakan bahwa realisme menguasai panggung teater
modern? Berdasarkan pengertian yang terurai, realisme adalah salah satu jenis
teater yang paling gampang dan mudah ditangkap oleh penonton. Karena sudah
jelas yang dipentaskan itu tidak jauh dari realitas kehidupan sehari – hari.
Hanya saja akan terlihat sedikit berbeda ketika sudah naik ke panggung dan di
bantu oleh tata artistik yang menyerupai artistik alam sebenarnya. Sedangkan
Asarpin menuliskan dalam uraian nya bahwa sudah
banyak yang menggugat fenomen teater yang menampilkan dialog yang tidak cerdas
dan hanya berlarut - larut sehingga tidak mempunyai ruang untuk persiapan batin
seorang aktor, apalagi sampai menggarap detail di tingkat tubuh aktor. Wajar
saja jika suatu waktu orang rindu lagi dengan teater monolog sebagai jalur
alternatif menghadapi kebuntuan.
Realisme menjadi
sebuah wadah pembelajaraan yang mendasar bagi para pecinta teater yang baru
akan memulai. Karena untuk mewujudkannya tidak diperlukan berbagai macam teori,
sebab praktek nyata sudah terlihat jelas dalam kehidupan. Tinggal bagaimana
kecerdasaan seorang sutradara memindahkan kejadian nyata sehari – hari ke atas
panggung pertunjukkan teater. Inilah yang membuat realime mempengaruhi teater
Indonesia. Walaupun ada yang setuju dan tidak setuju dengan realisme, tetapi
realisme lah yang membuat teater Indonesia berkembang dan lebih enak untuk
disaksikan.